Pada bulan-bulan terakhir Perang Dunia II, Seita yang berusia 14 tahun dan saudara perempuannya, Setsuko, menjadi yatim piatu saat ibu mereka terbunuh dalam serangan udara di Kobe, Jepang. Setelah bertengkar dengan bibi mereka, mereka pindah ke tempat perlindungan bom yang ditinggalkan. Tanpa sanak saudara yang masih hidup dan jatah makanan darurat mereka habis, Seita dan Setsuko berjuang untuk bertahan hidup.